Judul : Demokrasi
Pendahuluan
Demokrasi adalah salah satu cita-cita bangsa Indonesia, dengan menganut
demokrasi masyarakat Indonesia diharapkan mampu menyalurkan aspirasi serta
pendapatnya untuk menggerakan roda pemerintahan. Demokrasi ini diharapkan
menjadi suatu jaminan akan tidak adanya lagi diskriminasi atas kelompok
tertentu, ataupun keberpihakan pada pihak tertentu saja. Dalam pembahasan kali
ini, akan dibahas lebih lanjut tentang demokrasi dan pemilihan secara langsung,
serta kelebihan dan kekurangannya.
Materi :
A. Pemilihan secara langsung
Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat
memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan. Dalam sistem
ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga
mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi. Sistem
demokrasi langsung digunakan pada masa awal terbentuknya demokrasi di Athena
dimana ketika terdapat suatu permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh
rakyat berkumpul untuk membahasnya. Di era modern sistem ini menjadi tidak
praktis karena umumnya populasi suatu negara cukup besar dan mengumpulkan
seluruh rakyat dalam satu forum merupakan hal yang sulit. Selain itu, sistem
ini menuntut partisipasi yang tinggi dari rakyat sedangkan rakyat modern
cenderung tidak memiliki waktu untuk mempelajari semua permasalahan politik
negara.
Sistem pemilihan umum adalah merupakan salah satu instrumen
kelembagaan penting di dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di tandai dengan 3
(tiga) syarat yakni : adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan
mempertahankan kekuasaan, adanya partisipasi masyarakat, adanya jaminan hak-hak
sipil dan politik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut diadakanlah
sistem pemilihan umum, dengan sistem ini kompetisi, partisipasi, dan jaminan
hak-hak politik bisa terpenuhi dan dapat dilihat. Secara sederhana sistem
politik berarti instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu
ke dalam kursi-kursi yang di menangkan oleh partai atau calon. Sistem pemilu di
bagi menjadi dua kelompok yakni :
1. sistem distrik ( satu daerah pemilihan memilih
satu wakil )
didalanm sistem distrik satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas
dasar suara terbanyak, sistem distrik memiliki variasi, yakni :
- firs past the post : sistem yang menggunakan single memberdistrict dan pemilihan yang berpusat pada calon, pemenagnya adalah calon yang memiliki suara terbanyak.
- the two round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai landasan untuk menentukan pemenang pemilu. hal ini dilakukan untuk menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.
- the alternative vote : sama seperti firs past the post bedanya para pemilih diberi otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan ranking terhadap calon-calon yang ada.
- block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.
2. sistem proporsional ( satu daerah
pemilihan memilih beberapa wakil )
dalam sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil. prinsip utama
di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara di dalam pemilu oleh
peserta pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan secara
proporsional, sistem ini menggunakan sistem multimember districts. ada
dua macam sitem di dalam sitem proporsional, yakni ;
- list proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
- the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kuota.
perbedaan pokok antara sistem distrik dan proporsional adalah bahwa cara
menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi
perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
B. Sistim pemilu di Indonesia
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak
kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut
oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional,
adanya usulan sistem pemilihan umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan,
ternyata di tolak. Pemilu-pemilu paska Soeharto tetap menggunakan sistem
proporsional dengan alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai sistem yang lebih
pas untuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan masyarakat di
Indonesia yang cukup besar. Terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik di pakai
akan banyak kelompok-kelompok yang tidak terwakili khususnya kelompok kecil.
Disamping itu sistem pemilu merupakan bagian dari apa yang terdapat dalam UU
Pemilu 1999 yang di putuskan oleh para wakil yang duduk di DPR. Para wakil
tersebut berpandangan bahwa sistem proporsional itu lebih menguntungkan dari
pada sistem distrik. Sistem proporsional tetap dipilih menjadi sistem pemilihan
umum di Indonesia bisa jadi sistem ini yang akan terus di pakai. hal ini tak
lepas dari realitas yang pernah terjadi di negara-negara lain bahwa mengubah
sistem pemilu itu merupakan sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat
memungkinkan jika terdapat perubahan politik yang radikal. Di Indonesia sendiri
sistem Proporsional telah mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan
proporsional tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan
sistem proporsional daftar terbuka.
Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat perubahan
terhadap sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi sistem proporsional
di indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar
terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara pemilu 1999
dengan masa orde baru. pada orde baru yang menjadi daerah pilihan adalah
provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di dalam satu
provinsi, sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai daerah pilihan namun
sudah menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari partai peserta
pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-masing provinsi
tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-masing kabupaten
/kota. Pada pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi melainkan daerah
yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang mencangkup satu
provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, kepulauan Riau,
Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara dan
Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat.
masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada pemilu 2009
besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10. Perbedaan lain
berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan. pada pemilu 1999 dan orde baru
para pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan pemilu. pada tahun 2004 para
pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos
calonnya. hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan menetukan siapa
yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada calon yang tidak berda
di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi
pemilih (BPP), dikatakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena
penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D
tidak didasarkan para perolehan suara tebanyak melainkan tetap berdasarkan
nomor urut, kalupun di luar nomer urut harus memiliki suara yang mencukupi BPP.
Sistem proporsional semi daftar terbuka sendiri pada dasarny merupakan
hasil sebuah kompromi. dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu pada 2002,
PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak sistem daftar terbuka, dikarenakan
penetuan caleg merupakan hak partai peserta pemilu. memang jika diberlakukannya
sistem daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai di dalam menyeleksi caleg
mana saja yang di pandang lebih pas duduk di DPR/D. tetapi tiga partai itu
akhirnya menyetujui perubahan hanya saja perubahannya tidak terbuka secara
bebas melainkan setengah terbuka. perubahan-perubahan disain kelembagaan
seperti itu pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang berarti. ada
beberapa penyebab diantaranya yaitu : pada kenyataannya para pemilih tetap
lebih suka memilih tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan memilih
calon yang ada di dalam daftar pemilih karena lebih mudah. selain itu, di
lihat dari tingkat keterwakilan masih mengandung masalah. permasalahan ini
khususnya berkaitan dengan perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi
kursi di DPR/D kepada partai-partai. di sisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan
yang satu dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan. mengingat
sistem. hal ini terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk
mengakomodasi gagasan adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar
Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah pemilihan
mininal memiliki 3 kursi. implikasinya adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa
BPP nya berada di bawah rata-rata BPP nasional tetapi ada juga yang
berada dia atas BPP nasional.
Memingat sistem pemilu yang sudah di modifikasi dan mengalami sedikit
perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat usul untuk
melakukan modifikasi sistem proporsional lanjutan. kalau pada pemilu 2004 sudah
dipakai sistem daftar setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu selanjutnya usulan
digunakannya sistem daftar terbuka. di dalam sistem ini digunakan nomor urut di
dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk menjadikan calon mana yang
mewakili partai di dalam perolehan kursi sekitarnya tidak ada calon yang memenuhi
BPP yang di jadikan ukuranya adalah calon yag memperoleh suara terbanyak.
Presiden SBY termasuk yang pernah mengusulkan sistem demikian sebagaimana
dijelaskan oleh Andi sistem ini baik untuk partai karena semua calon akan
berkerja keras untuk partainya. rakyat juga mendapatkan pilihan yang
jelas. sebab siapa yang paling banyak mendapat sura akan masuk ke parlemen
tanpa memakai nomer urut yang keriterianya tidak sering jelas dan menjadi
sumber politik uang. sistem ini juga mendapat dukunagn dari PAN akan tetapi
PDIP menolak, sebagimana dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan menghapuskan
nomer urut itu justru membuka peluang money politics dan dianggap
mendeligitimasi keberadaan partai, demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR)
menurutnya sistem terbuka tanpa nomer urut dapat di lakukan secara teoritis
tapi sulit praktiknya. perdebatan smacam itu telah di selesaikan di dadal UU
pemilu No 10 tahun 2008. UU ini merupakan aturan dasar untuk pemilu 2009 di
dalam UU ini memang disebutkan bahwa pada pemilu 1999 Indonesia menganut sistem
daftar terbuka. tetapi kenyataanya Indonesia masih menganut sistem semi daftar
terbuka. hal ini tidak terlepas dari aturan bahwa calon yang memperoleh suara
terbanyak di dalam suatu partai tidak otomatis terpilih menjadi wakil. tapi yang
membedakan dengan pemilu 2004 adalah bahwa di dalam pemilu 2009 yang memperoleh
suara min 30% dari BPP memiliki kesempatan mewakili partai di dalam perolehan
porsi meskipun tidak berada di nomer urut jadi. di samping itu pemilu 2009 juga
memperkuat tuntutan pemberian kepada perempuan semua partai wajib menyertakan
calon perempuan sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3 calon harus perempuan.
tetapi aturan wajib ini tidak disertai sanksi yang jelas dan tegas manakala ada
partai-partai yang melanggarnya.
Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU no 10 tahun 2008 mengalami
perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan tentang suara
terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada partai-partai yang
memperoleh kursi. keputusan ini menjadikan sistem pemilu di Indonesia
benar-benar masuk kedalam kategori sistem proporsional daftar terbuka. Calon
yang memperoleh suara terbanyak yang akan lolos menjadi anggota DPR/D
dari partai yang memperoleh alokasi kursi. Akibat dari
perubahan-perubahan itu, pemilu 2009 dan bisa jadi pemilu-pemilu selanjutnya
memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. pertama, kompetisi partai semakin
kuat seiring di berlakukannya parliementary thresholdparliementary threshold
adalah dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam pemerintahan
di tingkat pusat, multipartai di dalam pemerintahan di daerah dandi pemilu.
hasil pemilu 2009 menunjukan 9 partai yang mendapat kursi di DPR karena lolos parliementary
threshold dan tidak sedikit juga partai-partai yang tidak memiliki kursi di
DPR tetapi mendapat kursi di DPRD. Hal ini dikarenakan ketentuan PT hanya
berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD. Realitas ini memperkuat pandangan bahwa
aturan main di dalam sistem pemilu itu mewakili implikasi yang cukup besar pada
alokasi kursi atau perwakilan dan kekuatan-kekuatan politik yang ada. dan
pengecilan besaran Daftar pilih untuk pemilu anggota DPR. Kedua, kompitisi
internal partai semakin tinggi. Kompitisi akhir ini mencangkup kompitisi
antarcalon di dalam setiap Dapil dan antar calon laki-laki dan perempuan.
Kompetisi ini menjadi sangat tinggi setelah pengalokasian kursi menggunakan
mekanisme (suara terbanyak). Kompetisi antar partai dan antar calon di internal
partai itu lebih mengemuka lagi karena kurun waktu kampanye berlangsung lebih
lama, setelah ditetapkannya partai peserta pemilu partai dan calon bisa
langsung melaksanakan kampanye dialogis, dan sebagai konsekuensi di
berlakukannya
C. Dasar Hukum sistim pemilu
di Indonesia
1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;
3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD;
4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
D. Analisis kelemahan system
pemilu di Indonesia
Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia adalah Proporsional dan
District. Sistem proporsional adalah sistem perwakilan berimbang (proporsional
representation), dengan varian sistem daftar partai. Sedangkan sistem distrik
yaitu lebih menekankan kepada perwakilan teritorial dan komunitas.
Masing-masing sistem masih banyak memiliki banyak kelemahan.
Salah satu kelemahan dari sistem pemilu distrik adalah banyak suara terbuang, kemudian kurang terakomodir suara dari masyarakat yang minoritas. Kemudian bagi sistem proporsional pemilih tidak mengenal siapa yang dipilih, dan yang terpilih tersebut lebih bertanggungjawab kepada partai bukan kepada masyarakat.
E. Solusi dari kelemahan
sistim pemilu di Indonesia
Menarik apabila kita harus membahas solusi dari kelemahan sistim pemilu di
Indonesia, karena menurut saya, dengan kita melihat Negara Indonesia sendiri
yang menjadi salah satu Negara demokrasi di dunia. Pastinya tidak akan mudah
menjalankan roda demokrasi, yang dimana para penduduknya mempunyai pandangan
yang berbeda-beda dalam mengartikan demokrasi itu tersebut. Indonesia merupakan
salah satu Negara dengan jumlah partai politik terbanyak di dunia, hal tersebut
bukanlah satu hal yang mengherankan, karena masyarakat Indonesia mempunyai
tingkat kreatifitas yang baik. Maka menilik dari hal tersebut, menurut hemat
saya, apabila kita melihat kedua sistem yang memiliki kelemahan dan kelebihan
masing-masing, maka perlu ada perpaduan diantara keduanya yang diharapkan mampu
saling mengisi kekurangan yang ada dalam kedua sistem. Indonesia harus mampu
menentukan ciri-ciri mana dari kedua sistem yang paling baik bagi Indonesia
sendiri untuk diterapkan dalam pemilu, mengingat kondisi dan situasi di negeri
ini yang cepat berubah-ubah. Dan juga perlu diberikan satu pengawasan yang
lebih dalam memantau jalannya sistim pemilu di Indonesia, agar tingkat
kecurangan dalam pemilihan umum dapat di minimalisir yang juga untuk
kepentingan masyarakat Indonesia juga. Agar tercipta sistim pemilu yang jujur
bersih dan adil.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hai, Bagaimana menurutmu? Ada komentar?